ELPSA – Kerangka Kerja untuk Merancang Pembelajaran
Matematika
Tom
Lowrie1, Sitti Maesuri Patahuddin2
1,2Faculty of Education,
Science, Technology and Mathematics, University of Canberra,
ACT 2601
Australia
e-mail: Sitti.Patahuddin@canberra.edu.au
Abstract. This paper describes a
framework for a mathematics lesson design called ELPSA. It is comprised of five
learning components, namely: Experience, Language, Pictorial, Symbolic and
Applications. This framework provides assistance for students to make sense of
mathematics ideas in classrooms, through sequenced activities that draw of
students’ personal experiences, encourage multiple forms of representation and apply
mathematics knowledge to new experiences. This paper explains the theory that
underpins the framework, and highlights the manner in which the respective
components promote mathematics thinking. It concludes with a demonstration on
how the ELPSA framework can be used in the process of designing lessons for
Number Patterns
Keywords: ELPSA, framework, number patterns
Pendahuluan
Tulisan ini menawarkan satu kerangka
kerja ELPSA yang dapat digunakan dalam proses perancangan pembelajaran
matematika. Pengembangan kerangka kerja ini berawal dari ide Leibeck (1984)
yang mengkaji tentang bagaimana seorang anak belajar matematika. Lowrie (1997)
mengembangkan ide ini sebagai kerangka dasar dalam pembelajaran pedagogi
matematika di universitas.
Selanjutnya, kerangka kerja ini digunakan penulis dalam program pengembangan guru matematika Indonesia bekerja sama dengan World Bank. Program ini menghasilkan paket pelatihan geometri yang telah diujicobakan di lima propinsi yaitu DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Sumatera Barat, dan Sulawesi Selatan, tepatnya di 13 MGMP. Paket ini bahkan telah dimanfaatkan oleh P4TK Matematika Yogyakarta dalam proses pengembangan profesi guru-guru matematika Indonesia secara online. Saat ini, kerangka kerja ELPSA digunakan untuk mengembangkan paket pelatihan guru dan rencana pembelajaran matematika dalam program “Promoting mathematics engagement and learning opportunities for disadvantaged communities in West Nusa Tenggara, Indonesia”. Pengembangan ini dilakukan penulis bersama pakar pendidikan matematika Indonesia dan guru-guru ahli dari seluruh kabupaten di Nusa Tenggara Barat (NTB).
Selanjutnya, kerangka kerja ini digunakan penulis dalam program pengembangan guru matematika Indonesia bekerja sama dengan World Bank. Program ini menghasilkan paket pelatihan geometri yang telah diujicobakan di lima propinsi yaitu DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Sumatera Barat, dan Sulawesi Selatan, tepatnya di 13 MGMP. Paket ini bahkan telah dimanfaatkan oleh P4TK Matematika Yogyakarta dalam proses pengembangan profesi guru-guru matematika Indonesia secara online. Saat ini, kerangka kerja ELPSA digunakan untuk mengembangkan paket pelatihan guru dan rencana pembelajaran matematika dalam program “Promoting mathematics engagement and learning opportunities for disadvantaged communities in West Nusa Tenggara, Indonesia”. Pengembangan ini dilakukan penulis bersama pakar pendidikan matematika Indonesia dan guru-guru ahli dari seluruh kabupaten di Nusa Tenggara Barat (NTB).
Kerangka kerja ELPSA menjadi penting
untuk konteks Indonesia dengan alasan antara lain: (1) guru-guru di Indonesia
dituntut untuk mengembangkan rencana pembelajaran sebagai bagian dari tugas
profesinya; (2) kerangka ini telah digunakan dalam proyek Bank Dunia tahun
2012-2014, dan pengembangan ini didasarkan atas kajian
analisis kritis pada video-video pembelajaran matematika Indonesia dari TIMSS video study. Secara garis besar, temuan
ini menunjukkan bahwa pembelajaran matematika di Indonesia kurang menekankan
pada penalaran dan pemecahan masalah, menggunakan sedikit waktu, dan menyajikan
sedikit materi matematika yang baru pada setiap pembelajaran matematika (Jalal
et al., 2009). Analisis video TIMSS juga menunjukkan bahwa pengajaran matematika
Indonesia didominasi oleh ceramah, dipengaruhi oleh sajian buku paket (yang
kebanyakan bersifat simbolik), dan keterlibatan peserta didik dalam
pembelajaran terbatas termasuk dalam hal pengajuan pertanyaan (World Bank,
2010); (3) kerangka ini diharapkan membantu guru memfokuskan perhatian pada
elemen- elemen penting untuk membawa peserta didik aktif belajar matematika
secara berbobot, memaknai matematika dan menerapkan pengetahuan matematika
dalam memecahkan permasalahan yang lebih kompleks; dan (4) kerangka kerja ini
dilandasi oleh teori pembelajaran yang telah diterima secara luas oleh kalangan
peneliti atau pendidik matematika, yaitu konstruktivis dan sosial.
Kerangka kerja ELPSA terdiri dari lima
komponen, yaitu: E (Experience = pengalaman); L (Language = bahasa yang
mendeskripsikan pengalaman); P (Pictorial = gambar yang menyajikan
pengalaman tersebut); S (Symbol = simbol tertulis yang
menyatakan pengalaman secara umum atau bersifat general); dan A (Application
= aplikasi yang berhubungan dengan bagaimana pengetahuan yang telah
diperoleh dapat diterapkan dalam bermacam-macam situasi).
Dasar Teoretis
ELPSA dengan elemen Pengalaman,
Bahasa,
Gambar,
Simbol
dan Aplikasi didasarkan pada teori-teori pembelajaran
konstruktivisme dan sifatnya sosial. Kerangka ELPSA melihat pembelajaran
sebagai suatu proses aktif dimana para peserta didik mengkonstruksi sendiri
caranya dalam memahami sesuatu melalui proses berpikir secara individu dan
interaksi sosial dengan orang lain. Namun demikian, penting diingat bahwa ELPSA
bukan proses yang linier. Pembelajaran adalah proses kompleks yang tidak dapat
diprediksi sepenuhnya dan tidak terjadi dalam urutan linear. Dengan demikian,
elemen-elemen ELPSA dapat dipikirkan sebagai elemen-elemen yang saling
berhubungan dan melengkapi.
Liebeck (1984) menyatakan bahwa
matematika adalah bentuk abstrak dari realitas. Dalam realitas ini terjadi
suatu urutan kejadian tertentu yang disebut pembentukan konsep yang mengarah
pada pemahaman dengan mengajukan model ELPS. Selanjutnya, penulis menambahkan
satu komponen aplikasi yang berkaitan dengan bagaimana pengetahuan yang telah
diperoleh dapat diterapkan pada situasi-situasi yang berbeda.
Kerangka kerja ELPSA didasari pada
asumsi bahwa pengalaman (baik yang sifatnya pribadi maupun sosial) adalah
pondasi untuk pengenalan kesempatan belajar yang baru. Dimensi sosial pada
komponen pengalaman ini sangat penting. Sejumlah pakar pendidikan menekankan
hal yang sama (Cobb, 1988; Lave & Wenger, 1991; Lerman, 2003; Wenger, 1999). Ide pokok dari teori sosial didasarkan
pada pernyataan bahwa belajar terjadi dari partisipasi atau keterlibatan aktif
dari pelajar. Sebagai contoh, Wenger (1999) mengindikasikan bahwa pehamanan
konsep itu bermakna jika dibangun dan dikaitkan dengan pengalaman hidup
seseorang atau adanya kesempatan keterlibatan satu sama lain. Artinya, jika
praktek pengajaran memungkinkan peserta didik untuk mengembangkan ide-ide
matematika yang dikaitkan dengan pengalaman pribadi atau pengetahuan awal
mereka, serta terlibat dalam diskusi ide-ide matematika dengan oarang lain,
maka kemungkinan untuk mengenalkan konsep secara bermakna lebih besar.
Pandangan ini pun sering diterapkan dalam pembelajaran matematika realistik
(Gravemeijer, 2010; Heuvel-Panhuizen, 2003; Widjaja, Fauzan, & Dolk, 2010).
Fondasi sosial tampak jelas pada
komponen bahasa, dimana bahasa digunakan sebagai alat pembelajaran.
Teori-teori sosial menunjukkan pentingnya pengalaman difasilitasi (Vygotsky,
1978), pengaruh budaya terhadap persepsi (Bishop, 1988a, 1988b), dan pengaruh
dari bahasa sehari-hari terhadap bahasa matematika (Adler, 1998). Semua ini
menjadi dasar pentingnya pemberian kesempatan pada peserta didik dalam membahasakan
ide-idenya dan menghubungkan pengalamannya dengan istilah matematika untuk
mengupayakan pemaknaan. Kaitan dengan teori psikologi, representasi matematika
adalah hal penting untuk membangun pemahaman matematika. Dienes (1959)
menyatakan bahwa representasi konkrit dan alat peraga dapat digunakan untuk
membantu peserta didik mempelajari ide-ide abstrak. Sebagai contoh, Dienes
menggunakan benda konkrit yang digunakan untuk menyatakan penjumlahan dan
pengurangan bilangan bilangan cacah. Dalam kerangka kerja ELPSA, bagian ini
disebut pictorial atau gambar.
Dalam ELPSA, komponen simbol
melibatkan peserta didik dalam menyajikan, mengkonstruksi, dan
memanipulasi informasi dalam bentuk simbol. Simbol meliputi bentuk- bentuk
aljabar, barisan bilangan, pernyataan yang menggunakan angka-angka. Menurut De
Cruz and De Smedt (2013), simbol-simbol matematika memungkinkan untuk melakukan
operasi atau perhitungan-perhitungan yang sebenarnya sulit dilakukan tanpa
adanya simbol. Misalnya dalam melakukan perkalian dua bilangan ribuan. Secara
teoretis, simbol-simbol matematika akan digunakan secara efektif oleh peserta
didik jika mereka memahami konsep berkaitan dengan simbol tersebut.
Jika pemahaman mereka terbatas maka akan kesulitan
dalam mentransformasi
suatu bentuk simbolik ke simbolik lainnya misalnya dan
. Komponen simbol dalam
ELPSA tetap menghendaki
anak untuk berlatih
dalam manipulasi simbol.
Sebagaimana Uttal, Scudder, and DeLoache (Uttal, Scudder,
& DeLoache, 1997) menyarankan bahwa pengajaran secara ekplisit diperlukan
untuk membantu anak menggunakan obyek-obyek matematika dalam bentuk simbolik.
Namun tentunya, jika simbol diperkenalkan terlalu cepat maka bisa layaknya
seorang anak melihat kata “KUCING” tanpa mengetahui apa yang direpresentasikan
dari kata tersebut.
Komponen aplikasi sangat penting
dalam suatu proses pembelajaran. Suatu studi mendalam yang dilakukan di Brazil
memberikan bukti empiris bahwa para pekerja yang berpendidikan rendah dapat
memanfaatkan perhitungan matematika dan proses pemecahan masalah secara lebih
efektif dibandingkan mereka yang sudah lama belajar matematika di sekolah
(Nunes, Schliemann, & Carraher, 1993). Nunes et al, (1993) berpendapat
bahwa peserta didik yang hanya dilibatkan dalam proses manipulasi simbol-simbol
tidak dapat menggunakan representasi simbol tersebut secara efektif dalam
situasi baru. Australia’s Chief Scientist (Chubb, 2014) juga menyatakan bahwa
matematika yang dipelajari di sekolah menjadi tidak relevan dengan tempat kerja
karena keterampilan-keterampilan matematika yang utama tidak diterapkan di
sekolah, khususnya yang berkaitan dengan masalah sehari-sehari. Misalnya
menginterpretasi data dan grafik. Penelitian dari Boaler (1998) juga mendukung
bahwa pembelajaran yang berbasis aplikasi bermanfaat bagi siswa dalam
menyelesaikan masalah- masalah yang baru.
Pengertian ELPSA
Salah satu contoh yang dapat menjadi pintu masuk dari
pembicaraan tentang ELPSA, yaitu bagaimana seseorang akhirnya mengetahui konsep
“kucing”, seperti ilustrasi berikut.
Proses mendapatkan pemahaman tentang
kucing ini mungkin membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk dapat mengarah pada
pemahaman mendalam tentang konsep kucing tersebut. Kenyataannya, komponen
aplikasi ini mungkin saja tidak dicapai oleh seseorang selama hidupnya,
misalnya tidak bisa membedakan kedua kucing ini: harimau dan jaguar.
Kerangka kerja ELPSA merupakan suatu
pendekatan perancangan pembelajaran yang sifatnya bersiklus. Rancangan ini
menyajikan ide-ide matematika melalui pengalaman- pengalaman hidup, percakapan
matematika, rangsangan visual, notasi simbol, dan aplikasi pengetahuan. Dalam
rancangan pembelajaran ini, guru diharapkan mengenalkan konsep memulai dari apa
yang telah diketahui peserta didik. Komponen pertama dari proses perancangan
ini adalah pengalaman. Pengalaman
mempertimbangkan bagaimana para peserta didik menggunakan matematika selama
ini, konsep apa saja yang mereka ketahui, bagaimana mereka dapat memperoleh
informasi, dan bagaimana matematika itu telah dialami oleh individu peserta
didik baik di dalam maupun di luar kelas. Komponen pengalaman juga melibatkan
asesmen karena guru perlu mengetahui apa yang diketahui oleh peserta didik dan
informasi baru apa yang perlu dikenalkan untuk membantu pemahaman peserta didik
tersebut. Komponen pertama dari ELPSA dapat dikenalkan melalui curah pendapat,
diskusi secara umum, menggunakan visual untuk memancing pemikiran, penyajian
cerita oleh guru atau pun peserta didik. Sebagai konsekuensinya, pengalaman
juga berhubungan dengan pemberian umpan balik dan pemberian latihan soal/reviuw.
Komponen kedua dari rancangan ini
berhubungan dengan bagaimana bahasa digunakan secara tepat untuk mendorong
terjadi pemahaman. Dalam matematika, bahasa matematika bisa bersifat umum
maupun khusus. Sebagian bahasa berhubungan dengan literacy sedangkan sebagian lainnya khusus berkaitan dengan konsep
matematika (misalnya pojok sebagai bahasa sehari-hari dan sudut sebagai bahasa
matematika). Komponen kedua dari ELPSA ini secara umum mengikuti pengalaman dan
berfokus pada bahasa (baik yang sifatnya umum maupun khusus) yang diperlukan
untuk menyajikan ide-ide matematika. Komponen ini juga berhubungan dengan aspek
pedagogi, di mana guru perlu memodelkan bahasa yang benar, dan peserta didik
perlu didorong menggunakan bahasa yang jelas dalam mendeskripsikan pemahamannya
kepada guru dan teman-temannya. Bahasa digunakan guru untuk mendorong berpikir
matematika peserta didik. Bahasa matematika harus menjadi perhatian utama dalam
elemen ELPSA ini sehingga bahasa matematika yang digunakan tepat dan tidak
membingungkan peserta didik.
Sebagai contoh, dalam bilangan bulat,
ada satu tanda yang tampak sama tetapi mempunyai makna yang berbeda, yaitu
tanda “-“. Tanda tersebut punya dua makna yang berbeda yaitu operasi kurang dan
bilangan negatif. Aspek ini bisa menimbulkan kesulitan bagi
peserta didik, sehingga guru dalam hal ini perlu memberi
perhatian eksplisit. Jadi “2 - (-3)” seharusnya dibaca “dua kurang negatif
tiga”, dan guru perlu menghindari untuk mengatakan “dua minus minus 3”. Guru
perlu menciptakan kesempatan bagi peserta didik untuk membahasakan alasannya.
Sebagaimana dikatakan oleh Kilpatrick dkk. (2001), salah satu cara terbaik bagi
peserta didik untuk meningkatkan penalarannya adalah menjelaskan atau berusaha
meyakinkan orang lain bahwa jawabannya masuk akal. Ketika peserta didik
menjelaskan suatu masalah matematika, mereka pun membangun pemahaman
matematikanya, menunjukkan cara penghitungan yang dilakukan, menerapkan
pengetahuan yang telah dimiliki, menjelaskan penalarannya kepada orang lain,
hingga mereka merasakan bahwa matematika itu bermakna dan bermanfaat. Jadi,
kaitannya dengan ELPSA, bahasa digunakan untuk mendorong terjadinya pemahaman.
Komponen ketiga dari kerangka kerja
perancangan pembelajaran ini adalah pictorial. Komponen ini berhubungan dengan
penggunaan representasi visual dalam menyajikan ide-ide. Komponen ini bisa
berupa benda kongkrit atau model dan bisa berupa gambar-gambar. Gambar
merupakan aspek kritis dari matematika. Secara umum ada dua jenis gambar yang
digunakan di dalam kelas: (1) gambar yang dibuat oleh guru atau yang tersedia
dalam sumber-sumber belajar dan (2) gambar yang dibuat oleh peserta didik.
Contoh dari gambar jenis pertama adalah representasi dari bermacam-macam
jajargenjang, termasuk persegipanjang, persegi, dan gambar jajargenjang lain yang
tersedia di buku paket. Representasi gambar ini digunakan untuk mendeskripsikan
bangun-bangun dimensi dua dalam satu keluarga segiempat. Tipe gambar yang kedua
adalah gambar-gambar yang dibuat oleh peserta didik pada kertas, komputer, atau
ada dalam bayangan peserta didik. Para peserta didik mungkin membayangkan untuk
mentransformasi sebuah persegi menjadi sebuah persegipanjang, atau mereka
menggambar diagram untuk menyelesaikan suatu masalah geometri. Gambar-gambar
sering digunakan untuk membantu menjembatani pemahaman peserta didik dan
menyiapkan rangsangan guna menyelesaikan tugas matematika sebelum pengenalan
simbol-simbol. Sebagai contoh, peserta didikdiberikan barisan gambar persegi
yang menunjukkan suatu pola bilangan kuadrat, atau barisan gambar-gambar kubus
yang menunjukkan pola bilangan kubik.
Komponen berikut dari rancangan
pembelajaran ini merupakan aspek yang paling umum dan sering digunakan dalam
pengajaran, yaitu menggunakan simbol dalam menyajikan ide-ide matematika.
Komponen ini kadang-kadang membuat matematika berbeda dari disiplin ilmu
lainnya, dan sering merujuk ke bahasa yang universal. Sangat disayangkan karena
pengajaran simbol sering menjadi aspek yang paling miskin pengajarannya.
Sebagai contoh, kebanyakan peserta didik diajarkan bahwa 6 × 4 = 4 × 6.
Meskipun hasilnya adalah 24, 6 × 4 bermakna ada enam kelompok yang masing-masing terdiri atas empat obyek sedangkan
4 × 6
merepresentasikan ada empat kelompok yang masing-masing
terdiri atas enam obyek. Jika para peserta didik didorong untuk mempelajari
perkalian bilangan dengan cara hafalan, mereka mungkin kesulitan memahami apa
sebenarnya yang disajikan oleh simbol-simbol matematika. Oleh karena itu,
sebelum peserta didik mengetahui bahwa 6 × 4 = 24, peserta didik seharusnya
difasilitasi menggambar sebuah matriks yang secara gambar menyajikan enam
kelompok yang masing-masing beranggotakan empat.
Komponen aplikasi dari suatu rancangan
pembelajaran ini menyatakan bagaimana pemahaman simbol dapat diterapkan ke
situasi-situasi yang baru. Para peserta didik yang memahami luas persegi sama
dengan alas kali tinggi, dapat menerapkan pengetahuannya ke pemahaman yang baru
kaitannya dengan volume prisma persegi, yakni sebagai luas alas kali tinggi.
Kaitan dengan pola bilangan, anak bisa diberikan masalah yang cukup menantang
dan bermakna misalnya menyelidiki pola perkembangan dari kelinci atau pola
reproduksi lebah, yang keduanya berkaitan dengan pola bilangan Fibonacci.
Komponen aplikasi juga memberikan kesempatan bagi peserta didik untuk melihat
bagaimana matematika dapat digunakan di dalam dan di luar konteks sekolah.
Rancangan
Pembelajaran Pola Bilangan dari Persepektif ELPSA
Pada bagian ini didemonstrasikan
bagaimana menggunakan ELPSA dalam proses perancangan pembelajaran Pola
Bilangan. Pembelajaran ini berkaitan dengan Kompetensi Dasar (6.1) Memahami
pola dan menggunakannya untuk menduga dan membuat generalisasi (kesimpulan).
Berdasarkan kompetensi dasar tersebut, pada akhir pembelajaran ini, peserta
didik diharapkan dapat mengenali dan menjelaskan pola dari suatu susunan obyek
atau pun bilangan menggunakan kata-katanya sendiri, dan dapat membuat aturan
umum (generalisasi).
Pengalaman
Aspek yang harus diperhatikan di sini
adalah pengetahuan yang telah dimiliki peserta didik berkaitan dengan tujuan
pembelajaran yang telah rencanakan. Sejumlah pertanyaan dapat diajukan antara
lain: apakah pola bilangan merupakan materi yang sama sekali baru atau materi
yang sudah pernah dipelajari oleh peserta didik? Apakah anak dapat memprediksi
suku-suku tertentu berdasarkan pola yang diberikan? Apakah peserta didik
memperhatikan hubungan antara bilangan asli (letak suku-suku suatu barisan) dan
suku-suku barisan tersebut. Satu hal yang penting dilakukan adalah merujuk pada
kurikulum yang sedang digunakan. Misalnya, berdasarkan kurikulum Indonesia,
baik KTSP maupun Kurikulum 2013 (K13), anak seharusnya telah dibekali dengan
pengalaman belajar matematika berkaitan dengan pola sejak di Sekolah Dasar, antara
lain (1) mengamati pola dan melanjutkan pola yang diberikan, misalnya
melanjutkan susunan gambar bangun datar dengan pola
tertentu, (2) menentukan bilangan yang tidak diketahui dari suatu susunan
bilangan yang berpola, (3) mendeskripsikan barisan bilangan yang dihasilkan
dari proses menambah atau mengurangi bilangan yang sama pada suku berikutnya,
(4) mendeskripsikan suatu pola bilangan yang merupakan hasil perkalian 2, 3, 5,
dan seterusnya, (5) menulis aturan-aturan dari pola bilangan, (6) mengenali
bahwa suatu barisan bilangan dapat dilanjutkan hingga tak terhingga banyak unsur-unsurnya,
(7) merepresentasikan bilangan yang berpola pada garis bilangan, bahkan (8)
peserta didik mungkin telah belajar barisan bilangan yang melibatkan pecahan.
Dalam kurikulum SMP di Indonesia baik
KTSP maupun K13, sudah tentu pembelajaran tentang pola bilangan diarahkan ke
pemikiran matematika yang lebih tinggi. Dalam hal ini memahami pola dan
menggunakannya untuk menduga dan membuat generalisasi (kesimpulan) [KD 6.1] dan
menggunakan pola dan generalisasi untuk menyelesaikan masalah [KD 6.2]. Berdasarkan
kurikulum tersebut, dapat diinterpretasi bahwa di tingkat SMP, di samping
peserta didik dapat mengenali pola dari suatu susunan bilangan, mereka
diharapkan mampu membuat generalisasi baik dalam bentuk kata, simbol, maupun
grafik. Ini merupakan hal mendasar untuk belajar aljabar yang lebih kompleks.
Dengan mengacu pada K13, maka sebelum mempelajari topik ini, peserta didik
telah belajar banyak hal berkaitan bentuk-bentuk aljabar dan geometri. Dengan
demikian pembelajaran pola bilangan seharusnya dapat diintegrasikan dengan
topik- topik tersebut. Di SD, anak mungkin diminta untuk menentukan 3 suku
berikut atau suku ke-10 dari barisan bilangan genap 2, 4, 6, 8, …, …, …, dan
anak pun mendaftarkan satu persatu. Namun di SMP anak perlu ditantang untuk menentukan
bilangan genap misalnya yang ke-100, atau ke-1000 dan memberikan alasan yang
kuat. Dengan pertanyaan tersebut anak tidak cukup dengan cara mendaftar satu
per satu unsur barisan karena membutuhkan waktu lama. Anak diharapkan dapat
mengenali pola dan berpikir untuk membuat generalisasi.
Berdasarkan kajian kurikulum, peserta didik diharapkan
telah mempunyai cukup bekal, guru tentunya tidak dapat bersumsi bahwa
materi-materi “prasyarat” tersebut telah dikuasai oleh anak. Karena itu,
penting bagi guru untuk merancang kegiatan yang akan membantu guru mengetahui
sejauh mana pemahaman peserta didik tentang pola bilangan. Salah satu cara
adalah pemberian tugas matematika, misalnya Tugas 1 dan Tugas 2 di bawah ini.
pemberian tugas matematika, misalnya Tugas 1 dan Tugas 2 di
bawah ini.
Tugas 1 ini dapat diberikan kepada peserta didik karena
barisan bilangan genap tersebut bukan hal baru namun menuntut anak membuat
generalisasi agar mampu menentukan suku ke-
1000 dengan mudah. Dengan soal tersebut, guru dapat meminta
peserta didik mengamati persamaan dan perbedaan ketiga contoh tersebut dan
menjelaskan hasil pengamatannya. Peserta didik diharapkan melihat ciri-ciri
kritis antara lain: usur-unsur dari ketiga barisan itu memuat bilangan bulat
genap, selisih dari unsur-unsur yang berdekatan tetap. Selisih dari unsur-unsur
berdekatan dari barisan (i) dan barisan (ii) adalah 2 sedangkan barisan (iii)
adalah -2. Unsur kritis lainnya bahwa suku atau unsur pertama dari barisan
tersebut berbeda-beda. Peserta didik juga mengenali bahwa bilangan-bilangan
yang ada pada barisan pertama dan kedua meningkat nilainya sedangkan yang
ketiga sifatnya mengecil sehingga mengarah ke bilangan bulat negatif. Contoh
ini dipilih untuk mereviu dan memperkuat pemahaman bilangan negatif peserta
didik.
Dalam proses penyelesaian soal ini,
peserta didik mungkin melakukan cara mereka sendiri, misalnya dengan berusaha
mendaftar satu-satu anggota, atau memberi dugaan yang tepat namun belum mampu
mengemukakan alasannya secara tepat. Ini adalah kesempatan luas bagi guru untuk
mengenali pengetahuan apa yang telah dimiliki mereka. Bukan hal yang aneh jika
ada peserta didik yang sudah bisa memberikan jawaban yang lumayan canggih. Pada
tahapan ini, guru tidak perlu menekankan pada benar atau salah jawaban peserta
didik, melainkan mendorong peserta didik untuk memperjelas jalan pikirannya.
Guru juga dapat menyajikan permasalahan melalui gambar, seperti pada contoh berikut.
Permasalahan dalam bentuk gambar ini
dapat menciptakan kesempatan bagi guru untuk mengetahui kesiapan peserta didik
dalam belajar tentang generalisasi sekaligus membantu peserta didik untuk
mengkaitkan permasalahan dengan pengalaman atau pengetahuan yang telah dimilikinya.
Bahasa
Kaitan dengan bahasa matematika,
istilah matematika yang penting diperhatikan dalam pelajaran pola bilangan
adalah pengertian pola itu sendiri. Ketika guru bertanya bagaimana polanya maka
guru perlu memastikan apakah peserta didik memahami apa yang ditanyakan oleh
guru tersebut. Kata “pola” digunakan secara berbeda dalam kehidupan sehari-hari
misalnya pola baju, pola bangunan, gambar yang dipakai untuk contoh batik,
corak kain, potongan kertas
yang digunakan sebagai model baju, dan seterusnya. Istilah
pola dalam suatu barisan bilangan mempunyai makna yang lebih spesifik yaitu
bentuk (struktur) yang tetap. Oleh karena itu, soal seperti pada Gambar 1a
sebaiknya diganti menjadi Gambar 1b, jika peserta didik diminta memprediksi
banyak potongan lidi yang digunakan untuk rumah lainnya. Meskipun pada Gambar
pertama, penggunaan kata pola tidak salah, namun pola yang dimaksukan di sini
adalah suatu “bentuk (struktur) yang
tetap”.
Gambar 1a
|
Gambar 1b
|
Pada kedua contoh tugas di atas, guru
perlu memodelkan penggunaan bahasa yang relevan dengan pola bilangan. Beberapa
istilah matematika yang penting dalam hal ini antara lain barisan bilangan,
unsur dari suatu barisan, suku pertama, tiga suku pertama, suku ke “sekian” dan
“sekian” suku pertama, selisih antara dua suku berurutan.
Aspek bahasa sangat terkait dengan
pengalaman. Dengan mengangkat permasalahan matematika yang dapat dimaknai oleh
para peserta didik, maka lebih besar kemungkinan bagi mereka untuk berbicara
satu sama lain. Namun jika masalah yang diberikan sama sekali baru dan sulit
dipahami, mungkin akan mengakibatkan anak terdiam. Demikian juga sebaliknya,
jika masalah yang diberikan terlalu mudah, maka anak mungkin akan berteriak
menjawab secara serentak tanpa belajar sesuatu hal baru.
Mengacu pada kerangka kerja ELPSA, guru
perlu mempersiapkan secara eksplisit contoh-contoh pernyataan atau penjelasan
dari matematika, contoh-contoh pertanyaan yang akan diajukan oleh guru pada
waktu diskusi kelompok atau pun diskusi kelas. Persiapan ini akan memfokuskan
perhatian guru pada matematika yang akan dipelajari di kelas.
Pictorial
Guru perlu mempertimbangkan gambar apa
atau alat peraga apa yang dapat lebih efektif digunakan untuk memancing peserta
didik berpikir tentang pola yang mungkin dari susunan obyek yang diberikan,
mendorong mereka untuk membuat suatu generalisasi tentang pola bilangan,
mengajukan alasan yang masuk akal, dan bisa menjadi batu loncatan bagi peserta
didik untuk menyatakan pola dalam bentuk simbol (komponen “S” dari ELPSA).
Penyajian informasi dalam bentuk pictorial dapat menjadi pemancing bagi
peserta didik untuk mengekspresikan pengalamannya (Lowrie & Diezmann,
2009). Misal memberi masalah seperti pada Tugas 2 di atas yang menuntut peserta
didik menginterprestasi gambar yang
diberikan.
Ini disebut dengan encode. Demikian
sebaliknya, yaitu proses decode di
mana peserta didik diberi permasalahan dalam bentuk kata-kata (seperti pada
Tugas 3) dan peserta didik perlu mengiterpretasi masalah tersebut dan
menyajikannya dalam bentuk sketsa, diagram atau gambar-gambar. Peserta didik
perlu diberi kesempatan menggunakan cara mereka sendiri dan membandingan
caranya dengan cara peserta didik lainnya.
Jadi dengan Tugas 3, peserta didik
dipancing untuk mencari pola dan menjelaskan jalan berpikirnya. Masalah
matematika tersebut dapat dikerjakan dalam kelompok kecil sehingga setiap
mereka mendapat kesempatan yang lebih banyak untuk mengekspresikan gagasannya.
Selama diskusi, jika peserta didik mengalami kesulitan, maka guru dapat
membantu mereka, misalnya dengan bertanya: Apa yang berubah pada gambar
selanjutnya? Bagaimana Anda yakin bahwa dugaanmu tepat? dan lain-lain. Pada
diskusi kelas, guru tidak harus meminta setiap kelompok untuk mempresentasikan
jawaban, tetapi dapat menfokuskan perhatian pada cara-cara yang berbeda yang
muncul. Tujuannya mereka dapat belajar dari strategi yang berbeda, dan dapat
menyimpulkan strategi terbaik bagi diri mereka.
Simbol
Matematika dikenal
dengan dunia simbol.
Sebagai contoh “ ”
menyimbolkan jumlah ukuran sudut pada sebarang segitiga ABC
adalah 180 derajat. Contoh lain “Un = 2 + n” menyimbolkan suku ke “sekian” dari
suatu barisan bilangan genap adalah 2 ditambah “sekian”. Simbol adalah bahasa
matematika yang padat isi dan bersifat universal, sehingga bisa dipahami oleh
penduduk dunia yang mempunyai bahasa daerah yang berbeda- beda. Simbol dapat
merupakan bahasa hasil kesepakatan, sehingga bentuk kesepakatan itu juga perlu
dikenalkan kepada para peserta didik.
Dalam kaitan pola bilangan, salah satu
tantangan berpikir matematika adalah menentukan unsur-unsur barisan bilangan
yang sulit ditentukan dengan cara menghitung satu persatu. Akibatnya,
penyelesaian masalah tersebut menuntut peserta didik membuat aturan umum yang
bisa diperlakukan secara mudah untuk setiap kasus. Dengan kata lain, Di SMP,
permasalahan bukan lagi menentukan 3 suku dari barisan 2, 4, 6, … dan
menentukan suku tertentu yang sulit ditemukan dengan mendaftar satu persatu.
Dalam hal ini menuntut generalisasi atau bentuk umum secara simbolik.
Sebagai contoh pada Tugas 1, peserta
didik mungkin mengenali bahwa itu adalah barisan bilangan genap. Mereka
dapat menentukan 10 unsur berikutnya dengan menggunakan
pola
yang telah ditemukan (yaitu menambahkan dua pada suku tertentu untuk
mendapatkan suku berikutnya. Namun, mereka akan mengalami kesulitan untuk
menentukan suku ke-999.
Hal mendasar yang harus diketahui bahwa
barisan bilangan ini merupakan suatu relasi antara bilangan asli dan
unsur-unsur barisan tersebut seperti digambarkan dalam diagram berikut, namun
pada saat penyajian barisan tersebut, bilangan asli yang dimaksud tidak tampak
oleh peserta didik. Artinya, ketika mereka dibantu memahami ini, bahasa yang
digunakan harus eksplisit, yaitu “suku ke-n”.
Gambar 2a
|
Gambar 2b
|
Dengan melihat hubungan tersebut,
peserta didik diharapkan dapat menyimpulkan bahwa masing-masing suku barisan
pada Gambar 2a merupakan hasil perkalian antara bilangan asli dan 2. Jadi suku
ke-100 adalah 100 × 2; suku ke-999 adalah 999× 2. Dengan demikian suku ke-n
adalah n× 2 atau 2n. Demikian juga dengan Gambar 2b, pola
umum yaitu 2n + 1, dengan n adalah
bilangan asli, atau dengan aturan lain yaitu 2n + 1 dengan n adalah bilangan cacah.
Peserta didik dapat diminta
memperhatikan karakteristik dari tiga gambar pada Tugas 2 di atas dan
mengeksplorasi pola pada gambar-gambar tersebut untuk menentukan banyak lidi
yang diperlukan dalam membuat Gambar ke-30. Awalnya mereka mungkin akan
kesulitan sehingga dapat disarankan untuk mencoba Gambar yang ke-6. Berikan kebebasan
pada mereka menemukan jawaban dengan caranya sendiri. Tujuan akhirnya mereka
dapat menemukan pola umum yang berbentuk simbol seperti padaTabel 1.
Tabel 1. Metode penyelesaian masalah
rumah
Metode
|
Ilustrasi
|
Mendaftar dengan
tally
|
|
Penjumlahan
|
Gambar 5:
6+5+5+5+5
Gambar 6: 6+5+5+5+5+5=31;
Jadi,
banyak lidi yang diperlukan pada Gambar ke-6 adalah 31
|
Mencari pola
|
Gambar 1: 6 lidi
Gambar 2: 6+5 = 11 lidi
Gambar 3: 6+5+5 = 16 lidi
Gambar 4: 6+5+5+5 = 21
Gambar 5: 6+5+5+5+5 = 26
Bagaimana
pola dari barisan 6, 11, 16, 21, …? Selisih suatu suku dengan suku berikutnya
adalah 5
|
Metode
|
Ilustrasi
|
Jika
pola itu dilanjutkan maka selisih Gambar k-5 dan ke-6 adalah 5. Jadi Gambar
ke-6 adalah 31. Lalu bagaimana dengan Gambar ke-30?
Gambar ke 2 ada
satu 5 ditambah 6 Gambar ke-3 ada dua 5 lima ditambah 6 Gambar ke-4 ada tiga
lima ditambah 6
Jadi gambar ke-30
ada dua puluh sembilan 5 ditambah 6. Artinya (29 × 5) + 6 = 151
|
|
Menggambar
|
|
Menggunakan rumus
|
6+5(n-1); n=1, 2,
3, ...
|
Aplikasi
Apabila matematika akan dihubungkan
dengan fenomena sehari-hari misalnya contoh pola dalam kehidupan sehari-hari
seperti pada Gambar 3, contoh tersebut harus dicermati. Apakah penyajian
contoh-contoh tersebut dapat berkontribusi secara signifikan pada tujuan utama
pembelajaran. Guru perlu memperjelas ide-ide matematika apa yang hendak
dibangun dari gambar-gambar tersebut.
Gambar 2a
|
Gambar 2b
|
Gambar 2c
|
Pemberian masalah yang menuntut
penerapan pengetahuan dalam hal ini tentang pola bilangan, peserta didik
belajar bernalar, mengemukakan pernyataan yang bersifat umum tentang suatu pola
dan mengajukan alasan untuk menjustifikasi ketepatan alasan mereka. Dari proses
belajar ini, peserta didik diharapkan dapat mengapresiasi bahwa matematika itu
berkaitan dengan prediksi, matematika itu terstruktur dengan baik, dan penuh
dengan pola. Proses pembelajaran pola bilangan yang dibangun atas kerangka
dasar ELPSA diharapkan memberi fondasi yang kuat bagi peserta didik untuk
belajar aljabar yang lebih kompleks.
Simpulan dan Saran
Sehubungan dengan tugas guru dalam
membelajarkan siswa secara efektif, guru penting memiliki sebuah alat yang
praktis dan mudah dipahami untuk merancang suatu pembelajaran
matematika bagi siswanya. Alat yang dimaksud bersesuaian
dengan bagaimana seorang individu mengembangkan konsep matematika secara
bermakna. Alat yang ditawarkan adalah kerangka kerja ELPSA.
Hingga saat ini ELPSA telah
dikembangkan untuk konteks Indonesia. Bukti-bukti awal mengindikasikan bahwa
kerangka kerja ini cukup menjanjikan dan meningkatkan kualitas pembelajaran
matematika di Indonesia. Kelima komponen yang diajukan sangat penting untuk
dipikirkan dalam proses perancangan pembelajaran matematika, jika mengharapkan
peserta didik dapat memahami matematika secara lebih komprehensif. Selain itu,
kerangka kerja ini diharapkan membantu guru untuk mengembangkan pembelajaran
matematika secara lebih eksplisit dan pada gilirannya akan mengatasi masalah
yang selama ini diidentifikasi dari sejumlah studi termasuk dari video study. Kerangka kerja ini
diharapkan memperkaya referensi para guru Indonesia dalam upaya meningkatkan
kualitas pembelajaran matematika di kelas.
Daftar Pustaka
Adler, J. (1998). A Language of teaching dilemmas:
Unlocking the complex multilingual secondary mathematics classroom. For the Learning of Mathematics, 18(1),
24-33.
Bishop, A. J. (1988a). The interactions of mathematics
education with culture. Cultural
Dynamics, 1(2), 145-157.
Bishop, A. J.
(1988b). Mathematics education in its cultural context. In A. J. Bishop (Ed.),
Mathematics Education and Culture (pp.
179-191): Springer.
Boaler, J. (1998).
Open and closed mathematics: Student experiences and understandings.
Journal for Research in Mathematics Education, 29(1), 41-62.
Chubb, I.
(2014). Classroom maths irrelevant to workplace. Retrieved 3 June, 2015, from http://www.couriermail.com.au/news/queensland/classroom-maths-irrelevant-to-
workplace-says-professor-ian-chubb/story-fnn8dlfs-1227164607227
Cobb, P. (1988). The tension between
theories of learning and instruction in mathematics education. Educational Psychologist, 23(2), 87.
De Cruz, H., & De Smedt, J. (2013). Mathematical
symbols as epistemic actions. Synthese,
190(1), 3-19. doi: 10.1007/s11229-010-9837-9
Dienes, Z. P. (1959). The teaching of
mathematics‐
‐ III: The growth of mathematical concepts in children through
experience. Educational Research, 2(1),
9-28.
Gravemeijer, K. (2010). Realistic mathematics education
theory as a guideline for problem- centered, interactive mathematics education.
A decade of PMRI in Indonesia. Bandung,
Utrecht: APS International.
Heuvel-Panhuizen, M. V. D. (2003). The didactical use of
models in realistic mathematics education: An example from a longitudinal
trajectory on percentage. Educational
Studies in Mathematics, 54(1), 9-35.
Jalal, F., Samani, M., Cahang, M. C., Stevenson, R.,
Ragatz, A. B., & Negara, S. D. (2009). Teacher
certification in Indonesia: A strategy for teacher quality improvement.
Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional, Republik Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar